Kita
seringkali mendengar berbagai kisah tantang syahidnya para mujahid di tanah
Palestina. Tidak bisa dipungkiri bahwa konflik yang terjadi antara Israel
dengan Palestina, atau jika boleh disebut sebagai konflik antara pemerintah
Israel vis a vis Hamas telah mengundang perhatian dari umat Islam di seluruh
dunia. Terlepas dari berbagai anggapan tentang Hamas dan Israel, peperangan
yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun di tanah Jerusaalem itu telah
dijadikan sebagai ‘ladang jihad’ bagi umat muslim. Berbondong-bondong umat
muslim di berbagai belahan bumi mengirimkan para mujahid unggulan mereka untuk
memerangi tentara Israel.
Diantara beribu kisah tentang mujahid Palestina, ada
sebuah cerita yang sangat menarik dituturkan oleh Syeikh Yusuf Qardhawi tentang
seorang pemuda Mesir bernama Abdul Wahab al-Bituni. Abdul ialah seorang pemuda
yang belum lulus SMU. Semangat jihadnya untuk bisa berdiri di barisan umat
Muslim di Palestina sudah tidak lagi bisa dibendung. Alasan yang paling
rasional sekaligus tidak rasional bagi Abdul untuk bisa berjihad di Palestina
bukanlah untuk mendapatkan penghargaan dari pemerintah Mesir. Ia berjihad hanya
untuk satu tujuan, yakni syahid. Akan
tetapi tidak mudah bagi seorang pemuda Mesir seperti Abdul untuk bisa berangkat
ke tanah Palestina dan mengangkat senjata melawan tank-tank Israel, terlebih
menghadapi kenyataan bahwa ia adalah putra semata wayang dari seorang janda.
Ibu manakah yang rela melepaskan putranya untuk pergi berperang melawan tank
Israel? Bagi seorang ibu, tidak ada alasan yang paling rasional untuk
memberikan ijin kepada seorang anak yang meminta untuk bisa mati syahid dalam
peperangan, kecuali karena keimanannya kepada Allah. Sayangnya, itu adalah
cita-cita Abdul. Ia mengerti betul bahwa ibunya tidak akan mengijinkannya.
Hingga kemudian Syeikh Qardhawi sendirilah yang meyakinkan sang ibu. Ulama itu
mengatakan bahwa bukan jihad yang akan menentukan matinya seseorang, namun
ketentuan Allah.
Setelah mengantongi ijin dari ibunya, bukan berarti ia
bisa berangkat ke medan perang. Aturan yang dibuat Ikhwanul Muslimin
mengharuskan pemuda seusia Abdul untuk mendapat ijin langsung dari Hasan Al
Banna sendiri. Dengan perasaan mantab dan dibayangi oleh kegembiraan untuk bisa
syahid di tanah Palestina, Abdul dan Syeikh Qardhawi menuju Kairo dan menemui
Hasan Al-Banna untuk meminta ijin. Stelah ijin berhasil ia kantongi, Ia
bersama-sama dengan ribuan mujahid lain dilepas dari Kairo. Semangat yang
menggebu-gebu yang ada dalam dada Abdul telah membawanya dalam medan
pertempuran. Sekali lagi hanya satu yang ia inginkan, syahid di tanah
Palestina, dan ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Abdul syahid saat bertempur
melawan tentara Israel.
Kisah Abdul ini hanya satu dari ribuan kisah heroik para
mujahid yang berangkat ke Palestina untuk apa yang mereka imani. Sebagaimana
Abdul, alasan bagi para mujahid untuk berjihad ialah untuk syahid. Bukan
main-main, kata syahid telah diagungkan karena mengandung sebuah garansi dari
Allah bahwa mereka yang mati secara syahid akan mendapatkan surga.
Di belahan bumi lain, bukan di Timur Tengah, bukan juga
di negara Islam atau bermayoritas penduduk Islam, namun di sebuah negara yang
sangat terkenal dengan sekulerismenya, terdengar pula sebuah cerita yang tidak
kalah menarik. Minggu pagi tanggal 6 Maret 2011, tepat sepuluh tahun setelah
peristiwa terorisme 11 September, di Time Square, sebuah daerah di kota New
York hari itu mendapatkan pengunjung lebih ramai dari biasanya. Bukan karena
ingin melihat gemerlap Time Square, namun ratusan orang berkumpul untuk
menyuarakan sesuatu. Dalam kerumunan tersebut, terdapat sebuah panggung yang disetting
sederhana dengan backdrop bendera Amerika Serikat yang cukup besar. Dari
kejauhan terdengar jelas suara tiga perempuan kecil yang sedang berpidato
dengan penuh semangat, seolah apa yang mereka katakan ialah penting untuk didengar
oleh masyarakat New York. Dengan penuh
kepercayaan diri, ketiganya menyampaikan pidato pembelaan terhadap sebuah
komunitas di New York yang sedang mendapat diskriminasi dari seorang anggota
Kongres. Mereka mengatakan, meskipun hanya anak-anak, namun mereka sangat paham
bahwa tidaklah benar untuk memperlakukan siapapun dengan tidak adil hanya
karena kepercayaan agama mereka. Siapakah sebenarnya ketiga anak kecil ini?
Siapa yang sedang mereka perjuangkan?
 |
Anggota Kongres Peter King yang menuduh Islam
sebagai sumber radikalisme |
Tiga perempuan kecil tersebut merupakan bagian dari aksi
protes 150 organisasi kemasyarakatan terhadap sikap seorang anggota kongres
Amerika Serikat bernama Peter King yang menuduh Islam sebagai sumber
radikalisme dan kekerasan. Diantara 150 organisasi tersebut, seratus dari
organisasi non-Muslim. Hal ini mereka lakukan karena Peter King telah
mengeluarkan pernyataan yang sangat tidak mengenakkan dan menyinggung umat
Islam. Mereka khawatir bahwa apa yang dilakukan oleh Peter King akan memberikan
label Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan terorisme. Uniknya,
aksi protes yang sebagian besar dihadiri oleh non-Muslim mengambil tema “Today,
I am a Moslem Too!”. Bukan hanya ketiga anak kecil tersebut yang menyampaikan
pembelaanya terhadap umat Islam di Amerika, namun juga para tokoh-tokoh agama
Yahudi, Katolik, dan Protestan. Salah satunya ialah Imam Syamsi Ali, seroang
Imam asli Indonesia yang bermukim di New York dan menjadi imam dari Jamaican
Muslim Community. Daiantara kerumunan massa, seorang wanita Afrika-Amerika,
sambil memegang poster berisi dukungan terhadap Islam mengatakan kepada peliput
acara sambil menghadap ke kamera “Hari ini saya adalah muslim, bagaimana dengan
anda?”
 |
Simpatisan aksi damai "Today I'm a Mosem Too"
di depan Time Square |
Sekitar empat blok dari tempat mereka melakukan aksi
protes, terdapat pula sebuah kerumunan massa dari pendukung Peter King. Mereka
menyatakan dukungannya terhadap Peter King dan mengatakan bahwa apa yang
dilakukan oleh Peter King adalah hal yang benar. Mendapati bahwa komunitas
Muslim sedang melakukan aksi serupa,
para pendukung Peter King menyatakan sikap ketidaksukaan mereka terhadap
aksi yang dilakukan oleh komunitas Muslim. Salah satu orator dari aksi tersebut
mengatakan “Hari ini saya merasa dilecehkan dan diserang oleh mereka yang
melakukan aksi “Today I’m a moslem Too.” Saya ingin mengatakan kepada Imam Syamsi Ali bahwa hari ini saya bukan
Muslim!”.
 |
Ditemani rintik gerimis kota New York, para peserta aksi damai
berkumpul untuk menyuarakan kritikan mereka terhadap Petter King |
Cerita tentang pembelaan komunitas non-muslim terhadap umat
Islam di New York sebagaimana terjadi dalam aksi “Today, I am a Moslem Too!”
telah menyedot perhatian publik melalui media massa, memberikan gagasan ide
tentang objektivitas bagi mereka yang hanya sekadar lewat atau mereka yang
memang tertarik dengan aksi itu, bergabung dengan para pendukung Muslim dan
pulang ke rumah dengan pandangan baru seraya mengatakan kepada putranya, “nak, Islam
bukan agama teroris!” Publik mungkin bisa dengan jelas mendapatkan informasi
bahwa rakyat Amerika yang bukan muslim pun mau untuk membela hak-hak Muslim.
Namun masih banyak pula cerita yang tidak seberuntung itu untuk bisa dipahami.
Pada tahun yang sama, seorang polisi Muslim sekaligus
Imam bernama Khalid Latif sedang menjalankan tugasnya. Bukan sembarang tugas,
namun ia bertugas di Ground Zero mengawal peringatan peristiwa 9/11 yang
terjadi sepuluh tahun yang lalu. Sebagaimana pada umumnya polisi, Imam Khalid
mengenakan seragam polisi, hanya saja ia memiliki jenggot dan memakai kopiah,
yang mungkin jarang dilakukan oleh polisi manapun saat bertugas, terasuk di
Indonesia. Di negara yang sedang memiliki tensi dengan terorisme yang sekali
lagi dicitrakan dengan Islam, adalah hal yang patut dihargai ketika seorang
polisi tanpa ragu menunjukkan identitasnya sebagai muslim. Di tengah-tengah
tugasnya, tiba-tiba ia di datangi oleh tiga orang laki-laki berjas berkata
kepada Imam, “Kami perlu memeriksa lencanamu, karena intelejen mengamati anda
dari atas gedung dan kami ingin meyakinkan siapa anda sebenarnya, hanya untuk
berjaga-jaga.” Merasa tidak bersalah, lalu Imam berkata, “berjaga-jaga untuk
apa?” Kemudian salah satu dari ketiganya berkata kepada Imam, “kami minta maaf
karena kami harus melakukan ini kepada anda.” Karena semakin heran dengan
perlakuan ketiganya, Imam kembali bertanya, “lalu mengapa kalian melakukan
ini?” Keributan kecil ini ternyata mendapat perhatian banyak orang yang sedang
khusyu mengenang anggota keluarganya. Lalu tiba-tiba seorang keluarga yang berdiri
tidak jauh dari Imam mendekati keempatnya. Seorang ibu dari keluarga tersebut
berkata kepada ketiga laki-laki tersebut. “Apa yang anda sedang lakukan
sekarang ialah hal yang lebih tidak menghormati anggota keluarga tercinta kami
yang telah menjadi korban di hari itu! Kami melihat seorang pemuda yang
melakukan tugasnya, berdiri bersama kami untuk momen yang kami butuhkan, dan
anda membuatnya seolah dia telah melakukan perbuatan yang tidak benar hanya
karena dia adalah seorang Muslim?”
 |
Imam Khalid Latif, anggota NYPD |
Peristiwa yang serupa juga terjadi saat umat Muslim
bermaksud untuk mendirikan sebuah masjid di wilayah Ground Zero. Ini adalah
masalah yang rumit. Rumit bagi warga New York yang merasa sensitif dengan
penyebutan Islam dalam kasus 9/11, juga rumit bagi warga Muslim yang menyadari
posisi mereka, namun memiliki niat mulia untuk mendirikan masjid. Gelombang
protes tentu saja berhamburan ke jalan, banyak pihak yang kemudian menentang
dengan alasan yang beragam. Ada pula kelompok yang menganggap tidak ada masalah
dengan pendirian masjid di Ground Zero. Ditengah-tengah peliknya wacana, secara
mengejutkan Walikota New York kala itu, Michael Bloomberg, memutuskan untuk
memberikan ijin pembangunan masjid tersebut. Dalam pidatonya di Governor’s
Island, dengan didampingi oleh pemuka agama Yahudi, Kristen dan Islam Ia mengatakan
bahwa “..semangat warga New York adalah toleransi, dan menghormati satu sama
lain. Bukan amerika yang diserang oleh peristiwa itu, namun semangat
keterbukaan dan penerimaan kita. Kita tidak boleh lupa bahwa warga Muslim juga
turut menjadi korban, dan mereka terkubur bersama warga New York, warga
Amerika. Oleh karena itu, kita akan menghianati nilai-nilai kita sendiri jika
kita memperlakukan Muslim secara berbeda..”
Cerita mengenai Abdul, sang pemuda Mesir yang dengan
semangatnya membela hak rakyat Palestina, harus diakui itu adalah tauladan yang
luar biasa. Bukan hanya karena
keberanian seorang Abdul untuk berjihad di jalan Allah, akan tetapi hal yang
harus diyakini ialah bahwa Abdul melakukan itu semua atas dasar keimanan kepada
Rabb-nya, dan oleh karena ia yakin dan percaya bahwa sesungguhnya sesama muslim
ialah bersaudara, sebagaimana penggalan surat Al-Hujurat ayat 10. Oleh karena
itu, Abdul merasa ikut bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi dengan
saudara-saudara muslimnya di tanah Palestina. Ia ikut merasakan sakit dan
penderitaan yang dialami saudara muslimnya. Rasa keterikatan antar muslim
inilah yang menjadi alasan paling rasional bagi Abdul untuk mencita-citakan
syahid di Palestina. Abdul patut berbangga, dan begitupun muslim Palestina yang
sangat beruntung mendapatkan curahan perhatian, bantuan, dan doa dari seluruh
umat muslim di dunia dalam setiap sholat mereka. Itu semua karena muslim
bersaudara.
Akan tetapi, di satu sisi, saya juga harus mengakui bahwa
saya merasa bersalah dengan saudara-saudara Muslim di Amerika. Saya terlalu
sibuk mengutuk negara itu. Saya terlalu terlena dengan segala teori konspirasi
yang menjejal di kepala. Saya terlalu asik mengritik setiap kebijakan
pemerintah Amerika serikat yang seringkali tidak bersahabat dengan
negara-negara Muslim. Dan saya terlalu sibuk mengurusi masalah kedekatan negara
itu dengan Israel, negara yang sedang menjajah tanah saudara Abdul di Palestina.
Tanpa saya sadari, saya telah melupakan saudara-saudara muslim saya di negara
yang tiap saat saya hujat keberadaanya itu. Saya lupa bahwa di Amerika juga ada
saudara muslim saya yang juga butuh do’a dari saya, terlebih bantuan dari saya.
Saya lupa bahwa mereka juga tidak setuju dengan kebijakan pemerintahnya yang
tidak pro-muslim. Palestina beruntung. Mereka memiliki banyak saudara yang siap
menghunus padang untuk mereka. Tapi sekiranya saya lupa bahwa saudara saya yang
ada di Amerika juga butuh bantuan, butuh hunusan pedang, butuh pembelaan!
Cerita-cerita yang saya dapatkan dari kehidupan Muslim di
Amerika menggiring saya pada sebuah pertanyaan. Bukankah mereka juga
Muslim? Bukankah mereka juga saudara? Bukankah mereka juga butuh untuk
didoakan? Dimanakah umat Islam ketika mereka diperlakukan secara tidak adil di
Amerika? Dimanakah umat muslim ketika mereka harus menghadapi situasi-situasi
sulit saat peristiwa 9/11 terjadi? Atau barangkali dimanakah umat muslim ketika
mereka harus mendapatkan sikap anti-Muslim oleh kelompok-kelompok yang tidak
senang dengan keberadaan mereka? Singkat! Saya tidak disana. Juga tidak
sebersitpun dipikiran untuk minimal mendoakan mereka. Saya tidak disana ketika
orang-orang menyebarkan kebencian terhadap Muslim. Saya juga tidak bisa membantu
mengecat ulang tembok-tembok masjid di Islamic Center ketika orang-orang
mencoret-coret dengan cemoohan kasar! Singkatnya, saya lupa. Lupa bahwa mereka
ada dan hidup di negara yang dibenci oleh sebagian umat Islam.
Dalam situasi yang rumit, tidak banyak umat Islam di
belahan dunia lain yang menyadari perjuangan umat Islam di Amerika itu sendiri.
Justru mereka dibantu oleh Yahudi, Kristen, bahkan Budha yang mau untuk membuka
mata bahwa ada ketidakadilan sedang terjadi di Amerika. Justru mereka yang
tidak beriman kepada Allah lah yang membantu umat Islam di Amerika. Atau, itu
semua karena sikap ignorance dan acuh
tak acuh kita terhadap eksistensi mereka, sehingga mereka terpaksa menerima
bantuan dari orang-orang yang kita sebut kafir? Dengan ini, kita harus lebih
mawas diri dan memandang persoalan secara lebih jernih. Di Indonesia, di Timur
Tengah, muslim adalah mayoritas. Namun sepertinya kebiasaan kita sebagai
mayoritas di negara masing-masing membuat kita sombong dan buta karena merasa telah
aman. Kita lupa bahwa ada saudara muslim yang hidup di berbagai negara yang
disana mereka bukan mayoritas melainkan minoritas yang juga membutuhkan
pertolongan sebagaimana Palestina.
Namun, setidaknya ditengah-tengah rasa bersalah, saya
harus merasa lega dan sedikit berbangga atau bahkan kagum. Sebuah teori
mengatakan bahwa dalam keadaan yang terjepit, maka segala upaya akan dilakukan
untuk bisa selamat. Dan itulah yang terlihat dari Muslim Amerika. Memahami
dalam posisi sebagai minoritas, mereka saling bahu-membahu dalam membangun
komunitas muslim. Saling mengingatkan, bahkan saling membantu dalam urusan pembangunan
ekonomi. Pernah suatu kali saya mengikuti sholat Jum’at berjamaah di sebuah
universitas di Philadelphia. Jangan dibayangkan bahwa ada masjid di kampus.
Boro-boro masjid, mushola pun jangan harap ada. Saat itu, kami melakukan sholat
Jum’at di Student Center. Saya baru bisa merasakan nilai-nilai persatuan umat
ketika sholat berjamaah dengan mereka. Kulit putih, hitam, Afrika, Asia, Arab,
semua dalam satu jamaah. Konsep “merapatkan barisan” yang selalu diucapakan
oleh sang imam saat akan memulai sholat benar-benar dilakukan. Kaki bertemu
kaki, pundak bertemu pundak. Dan yang jarang ditemui di Indonesia, para
mahasiswi ikut sholat berjamaah di pojok ruangan yang berjarak lebih dari 7
meter dari barisan laki-laki yang paling belakang! Untuk hal ini, saya katakan
mereka lebih fundamentalis.
Saat
sholat telah usai, sang Imam cepat-cepat mengambil microphone dan memberikan
pengumuman. Ia mengumumkan bahwa ada saudara muslim di wilayahnya yang sedang
sakit. Ia memohon para jamaah untuk mendoakan sudaranya yang sedang sakit
tersebut. Setelah sang imam selesai memberikan pengumuman, tiba-tiba seorang
laki-laki maju ke depan sembari membawa sebuah kertas. Ia mengumumkan bahwa
dirinya membutuhkan karyawan baru bagi usahanya. Ia menawarkan pekerjaan!
Setelah selesai sholat, mereka bersalaman dan saling berpelukan. Ada pula yang
langsung menyerbu imam untuk bertanya soal Islam, dengan sang imam yang sangat
sabar dan telaten menjelaskan kepada saudaranya yang bertanya itu. Inilah
seharunya muslim. Bukankah Allah memerintahkan umat Islam untuk bersatu dalam
barisan yang teratur? Wallahua’lam.